Kulit sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau yang dinyatakan sebagai limbah, ternyata pernah diolah menjadi arang atau energi terbarukan. Sejak dahulu terdapat banyak kilang pengolah sagu, baik tradisional maupun modern. Dari pengolahan tumbuhan khas Meranti itu, tak sedikit pula menghasilkan limbah sagu. Namun, hingga tahun 2016 ini, limbah yang bisa menambah pundi-pundi rupiah ini belum maksimal dimanfaatkan, kecuali apa yang disebut repuyang sebatas dimanfaatkan peternak untuk pakan (terkanannya) dan itupun dalam skala kecil. Sementara kulit batang sagu tersia-siakan.
Sebelumnya pernah ada usaha memproduksi arang dari bahan kulit batang sagu. Lalu diekspor ke negara-negara bermusim dingin. Selama ini, negara-negara memiliki musim salju seperti Jepang di kawasan Asia, pasti membutuhkan penghangat ruangan biomassa atau sumber energi terbarukan. Dengan demikian penggunaan batu baru kini bisa digantikan dengan memakai arang dari kulit pohon sagu yang lebih efisein.
“Kalau pakai kulit sagu, maka lebih tahan lama dan harga jauh lebih murah. Dibanding batu bara,” terang Ketua Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia (APJI) Kepulauan Meranti sebagaimana dimuat dalam goriau.com.
Namun sayangnya, informasi terakhir perusahaan mengolah kulit pohon sagu di Kepulauan Meranti sudah tidak beroperasi lagi.
“Kendalanya itu, ada pada terbatasnya persediaan air atau listrik. Tapi kita tidak tahu pasti, sebab perusahaan ini tidak operasi lagi,” papar Rizal.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kepulauan Meranti pada akhir tahun lalu menyatakan, pihaknya masih memiliki rencana mengolah limbah sagu menjadi biomasa.
“Selain kurangi masalah lingkungan, limbah ini juga bisa ciptakan kemandirian energi bagi warga di sekitar kilang sagu,” ucap Kepala BLH Kepulauan Meranti, Irmansyah.
Ia melanjutkan, masih marak terjadi pencemaran di kawasan perairan akibat banyaknya kilang sagu membuang limbah secara sembarangan. Pihaknya berinisiatif mengajarkan pemanfaatan limbah menjadi biomasa, agar warga desa setempat mengubah prilaku demi menambah penghasilan dengan menjadikan energi alternatif.
“Ini terjadi karena perhatian terfokus pada pati sagu, sehingga pemanfaaatan tanaman sagu jadi tidak maksimal dan kurang diperhatikan,” ujarnya.