Penggunaan sumber daya energi minyak, sebagai bahan bakar atau bahan baku, sebuah dilema yang sampai saat ini terus berkembang. Akhirnya dampak dari dilema sumber daya migas mengakibatkan ketahanan hilirisasi industri terus terhambat, sehingga belum dapat berperan maksimal untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
Perihal tersebut tegas dijelaskan oleh Director for Business Development Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik, Budi Sadiman. Bahwa dilema dari bahan bakar minyak untuk bahan baku atau bahan bakar, membuat sektor pertumbuhan industri Petrokimia sulit untuk bersaing dengna negara lain. Permasalahannya industri masih sangat menyayangkan untuk bahan baku olahan plastik masih mengandalkan pasar ekspor impor, tercatat sudah 30 persen besaran impor Inodonesia hanya untuk bahan baku industri Petrokimia.
“Sebagai mitra kami, Pertamina sangat disayangkan, ia hanya berfokus pada bagaimana cara untuk memenuhi bahan bakar minyak negara (fuel), tidak secara maksimal memanfaatkan sisa hasil olahan BBM, bahkan untuk bahan baku TAR saja kita masih Import,” tandas Budi, saat menghadiri Forum Group Discusion (FGD), di The Habibie Center, Jakarta, Senin (23/10) lalu.
Menurutnya alangkah baiknya jika, Pertamina sebagai wilayah Hulu, mencoba untuk berfokus untuk melakukan hilirisasi ke industri Petrokimia. Sehingga akan mengurangi beban impor bahan baku nasional. Terutama mengingat total produksi bahan baku industri Petrokimia hanya 2,45 juta ton per tahun, lebih kecil ketimbang jumlah permintaan (demand) yang sudah mencapai 5,5 juta ton.
Budi melanjutkan, jika nantinya industri Petrokimia menjadi titik tolak untuk pertumbuhan ekonomi. Sudah bisa dipastikan laju perekonomian daerah yang memiliki industri Petrokimia bakal menyerap ketenagakerjaan daerah, dari banyak permasalahan sosial yang sering muncul di tengah masyarakat.
Menanggapi pernyataan Budi Sadiman lain pihak, seperti SVP Research & Technology Center Pertamina, Herutama Trikoranto membenarkan, bahwa pihaknya masih berupaya untuk bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional atau fuel. Namun menurutnya, dalam tugasnya ia tidak tinggal diam saja, ia telah berupaya melakukan eksplorasi ke berbagai negara untuk melakukan penilaian daerah yang memiliki potensi sumber daya energi yang maksimal.
“Kita berupaya melakukan ekspansi dalam mengeksplorasi lahan-lahan baru yang ada di luar maupun dalam negari,” ucapnya.
Turunan Nafta Dan LPG Yang memiliki Nilai Tinggi
Lebih jauh Budi Sadiman menjelaskan, untuk kebutuhan bahan baku jenis turunan Polymer. Indonesia membutuhkan 5 ribu ton per tahun, dan ia memperkirakan dengan angka pertumbuhan ekonomi nasional 5 persen (GDP Growth), akan mencapai 6 ribu ton per tahun di tahun 2018.
ia mencontohkan, untuk bahan bakar Nafta dan LPG ketika diproses pemecahan unsur yang kemudian dipadukan kembali menjadi jenis senyawa baru seperti Poly Ethylene, bahan baku senyawa ini memiliki nilai jual tinggi ketika diproses menjadi sebuah produk yang baru. Yang kemudian akrab oleh masyarakat luas menyebutnya dengan produk plastik.
“Misal dari harga bahan baku senyawa Poly Ethylene, USD4 dengan sedikit inovasi pertambahan nilai, akan menjadi produk yang berguna, bahkan harganya bisa mencapai USD1.200,” jelas Budi Sadiman.
Tidak hanya senyawa Poly Ethylene dipaparannya, untuk senyawa Pe Degradable pun berguna sebagai bahan baku produk plastik alami (Green Plastic). Yang dimungkinkan harga nilai pengolahannya akan terus meningkat, mengingat dengan kondisi sampah plastik yang sudah ada saat ini yang sulit terurai.
“Jadi jangan termakan Hoax, bahwa semua palstik itu sampah yang sulit terurai,” tutupnya tegas.